Ironi Otomatisasi: Ketika Teknologi Justru Menambah Risiko
Otomatisasi dalam Keselamatan - Penyebab kecelakaan sering disebutkan sebagai 80:20 dimana kenyataan bahwa sekitar 80% penyebab kecelakaan berasal dari kesalahan manusia dan hanya 20% dari kegagalan teknis, untuk mengurangi masalah tersebut maka ditambahlah tingkat otomatisasi dalam hubungan antara manusia dan sistem.
Tentu saja, alasan meningkatkan otomatisasi bukan hanya untuk menjauhkan manusia yang rentan salah dari kendali sistem tetapi ada faktor pendorong lainnya yaitu ketersediaan teknologi komputer murah dalam beberapa dekade terakhir, yang bisa memberikan keuntungan besar secara komersial.
Ketika konsorsium Eropa Airbus Industri dibentuk pada awal 1970-an, pangsa pasar pesawat jet komersial Eropa hampir nol. Untuk bisa bersaing dengan produsen AS yang dominan, Airbus memilih menggunakan teknologi terbaru dalam desain kokpit otomatis. Walaupun kemudian Boeing dan McDonnell Douglas mengikuti langkah ini, Airbus tetap menjadi pelopor dalam membagi peran antara pilot dan sistem penerbangan berbasis komputer.
Strategi Airbus adalah membuat pesawat lebih sedikit bergantung pada kendali manusia. Filosofi radikal mereka dalam otomatisasi kokpit memberi Airbus memiliki posisi besar di pasar pesawat jet, namun juga menimbulkan berbagai masalah baru terkait faktor manusia. Masalah ini sebenarnya tidak hanya ada pada Airbus atau bahkan penerbangan saja.
Sebelum membahas lebih jauh masalah di dunia penerbangan, perlu dilihat dulu apa yang disebut psikolog teknik asal Inggris, Lisanne Bainbridge, sebagai “ironi dari otomatisasi”:
- Dengan mengambil alih bagian-bagian mudah dari tugas manusia, otomatisasi justru membuat bagian sulit jadi lebih sulit.
- Banyak perancang sistem menganggap manusia tidak dapat diandalkan, namun tetap menyerahkan tugas yang tidak bisa diotomatisasi terutama mengembalikan sistem ke kondisi aman setelah kegagalan yang tidak terduga.
- Dalam sistem yang sangat otomatis, manusia hanya diminta memantau apakah sistem bekerja dengan baik. Tetapi manusia sulit menjaga kewaspadaan dalam waktu lama, sehingga kurang cocok untuk mendeteksi kondisi abnormal yang jarang terjadi.
- Keterampilan perlu terus dipraktikkan agar tetap terjaga. Namun, jika sistem otomatis jarang gagal, operator kehilangan kesempatan untuk melatih keterampilan yang justru sangat dibutuhkan saat darurat. Akibatnya, kemampuan mereka bisa menurun.
- Dan, seperti dikatakan Bainbridge, “Ironi terbesar adalah bahwa sistem otomatis yang paling sukses (yang jarang butuh campur tangan manusia) justru membutuhkan investasi paling besar dalam pelatihan operator.”
Masalah sistem kendali otomatis ini sebenarnya tidak hanya ada di penerbangan, tapi penerbangan adalah bidang yang paling banyak diteliti. Alasannya, setiap kejadian bisa dianalisis lewat rekaman data penerbangan, dan sistem manajemen penerbangan adalah bentuk otomatisasi yang paling canggih saat ini. Karena itu, bagian berikut akan banyak membahas otomatisasi di kokpit pesawat.
Otomatisasi kokpit membawa berkah sekaligus masalah.
Di satu sisi, sistem ini sangat membantu pilot dalam navigasi horizontal (mengetahui posisi pesawat terhadap permukaan bumi), karena peta elektronik tidak hanya menunjukkan posisi pesawat terhadap wilayah geografis, tetapi juga kondisi cuaca di jalur penerbangan. Pilot menganggap ini salah satu fitur paling berguna dari pesawat modern.
Di sisi lain, masalah sering muncul dalam navigasi vertikal (perubahan ketinggian), dan beberapa kasus bahkan menyebabkan kecelakaan fatal.
Navigasi vertikal rumit karena dikendalikan oleh kombinasi kendali elevator (kemudi naik-turun) dan daya mesin. Sistem Manajemen Penerbangan (Flight Management System / FMS) menyediakan setidaknya lima cara untuk mengubah ketinggian, dengan tingkat otomatisasi berbeda-beda.
Ada mode yang dipilih pilot, dan ada juga yang aktif secara otomatis.
Misalnya, dalam satu mode, FMS mengendalikan kecepatan vertikal; dalam mode lain, FMS menjaga sudut lintasan tertentu.
FMS juga bisa otomatis berpindah mode sesuai kondisi. Contoh: jika pilot menargetkan ketinggian 5.000 kaki, mode mendaki akan aktif hingga ketinggian itu tercapai. Setelahnya, FMS otomatis berpindah ke mode “tahan ketinggian” (altitude hold).
Selain itu, beberapa FMS dilengkapi dengan sistem perlindungan otomatis (hard protection), yang mencegah pesawat melebihi batas kecepatan atau tekanan struktur pesawat. Kata “hard” berarti sistem akan mengaktifkan perlindungan ini tanpa perlu input dari pilot. Misalnya, jika kecepatan pesawat turun di bawah batas aman saat mendekati landasan, FMS bisa otomatis meningkatkan daya mesin dan masuk ke mode go-around (membatalkan pendaratan).
Namun, fitur ini kadang berbahaya: ada kasus pilot tidak menyadari perubahan mode dan malah “bertarung” dengan FMS untuk mengendalikan pesawat—kadang berakhir dengan kegagalan.
Masalah utama dari sudut pandang faktor manusia adalah: FMS bisa berubah mode karena tindakan pilot atau logika internalnya sendiri. Tidak heran jika pilot bisa bingung mengenai mode apa yang sedang aktif, atau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Untuk tetap “selangkah lebih maju dari pesawat”, pilot tidak hanya harus tahu mode apa yang sedang aktif, tetapi juga bagaimana FMS memilih mode baru. Hal ini sulit, terutama saat beban kerja mental sedang tinggi.
Inilah salah satu ironi otomatisasi: sistem manajemen penerbangan yang dirancang untuk meringankan beban mental pilot, justru sering menambah kebingungan dan kerja keras mereka.
Referensi
- Bainbridge, L., 1983. Ironies of automation. Automatica, 19(6), pp.775–779.
- Billings, C.E., 1997. Aviation automation: The search for a human-centered approach. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
- Reason, J., 1990. Human error. Cambridge: Cambridge University Press.
- Sarter, N.B. and Woods, D.D., 1995. How in the world did we ever get into that mode? Mode error and awareness in supervisory control. Human Factors, 37(1), pp.5–19.
- Wiener, E.L. and Curry, R.E., 1980. Flight-deck automation: Promises and problems. NASA Technical Paper 1109. Washington, DC: NASA.
Posting Komentar untuk "Ironi Otomatisasi: Ketika Teknologi Justru Menambah Risiko"